Bolehkah Wanita Muslimah Memandang Lelaki Yang Bukan Mahram?

Allah Ta’ala berfirman:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ
أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah kepada wanita yang
beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya”
(QS. An Nuur: 31).
Baca Lainnya :
- Bagaimana Agar Bisa Menjadi Keluarga Harmonis Menurut Islam?0
- Inilah 4 Tanda Riya, Hati-hati!0
- Orang–Orang yang Beruntung0
- Apa Balasan Bagi Pemimpin Yang Tidak Adil?0
- ghibah 0
Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya
menjelaskan makna ayat ini: “Firman Allah Ta’ala (yang
artinya) Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka
menahan pandangannya maksudnya terhadap hal-hal yang diharamkan oleh
Allah untuk dilihat selain suami-suami mereka. Oleh karena itu banyak para
ulama yang berpendapat bahwa wanita tidak diperbolehkan memandang lelaki yang
bukan mahram dengan syahwat, demikian juga jika tanpa syahwat hukum asalnya
adalah haram. Kebanyakan para ulama berdalil dengan hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Daud dan At Tirmidzi yaitu hadits Az Zuhri dari Nabhan, pembantu Ummu
Salamah, ia berkata bahwa Ummu Salamah pernah berkata kepadanya:
أنها كانت عند رسول الله صلى الله عليه
وسلم وميمونة قالت: فبينما نحن عنده أقبل ابن أم مكتوم فدخل عليه، وذلك بعدما أمرنا
بالحجاب، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “احتجبا منه” فقلت يا رسول الله: أليس
هو أعمى لا يبصرنا ولا يعرفنا؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “أوعمياوان أنتما؟
ألستما تبصرانه
Ketika itu Ummu Salamah bersama
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan Maimunah, lalu Ibnu Ummi Maktum
hendak masuk ke rumah. Itu terjadi setelah kami diperintahkan untuk berhijab
(setelah turun ayat hijab). Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
berkata: ‘Kalian berdua hendaklah berhijab darinya’. Ummu Salamah berkata:
‘Wahai Rasulullah, bukankan Ibnu Ummi Maktum itu buta tidak melihat kami dan
tidak mengenali kami?’. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
berkata: ‘Apakah kalian berdua juga buta? Bukankah kalian berdua melihatnya?’
. At Tirmidzi berkata, hadits ini hasan shahih”.
Sebagian ulama berpendapat bahwa wanita
boleh melihat lelaki non-mahram tanpa syahwat. Sebagaimana hadits yang terdapat
dalam Shahih Bukhari bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
جعل ينظر إلى الحبشة وهم يلعبون بحرابهم
يوم العيد في المسجد، وعائشة أم المؤمنين تنظر إليهم من ورائه، وهو يسترها منهم حتى
ملّت ورجعت
Rasulullah melihat orang-orang Habasyah
sedang bermain tombak di masjid pada hari Id. ‘Aisyah Ummul Mu’minin juga
melihat mereka dari balik tubuh Rasulullah. Rasulullah pun membentangkan sutrah
agar mereka tidak melihat ‘Aisyah, sampai akhirnya ‘Aisyah bosan dan enggan
melihat lagi” (Tafsir Ibnu Katsir).
Memandang
lelaki dengan syahwat
Jumhur ulama berpendapat bahwa jika
seorang wanita memandang lelaki dengan syahwat, maka hukumnya haram. Karena hal
tersebut termasuk zina mata. Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
إن اللهَ كتب على ابنِ آدمَ حظَّه من
الزنا ، أدرك ذلك لا محالةَ ، فزنا العينِ النظرُ ، وزنا اللسانِ المنطقُ ، والنفسُ
تتمنى وتشتهي ، والفرجُ يصدقُ ذلك كلَّه أو يكذبُه
“sesungguhnya Allah telah menakdirkan
bahwa pada setiap anak Adam memiliki bagian dari perbuatan zina yang pasti
terjadi dan tidak mungkin dihindari. Zinanya mata adalah penglihatan, zinanya
lisan adalah ucapan, sedangkan nafsu (zina hati) adalah berkeinginan dan
berangan-angan, dan kemaluanlah yang membenarkan atau mengingkarinya” (HR.
Al Bukhari 6243).
Ibnu Bathal menjelaskan: “zina mata,
yaitu melihat yang tidak berhak dilihat lebih dari pandangan pertama dalam
rangka bernikmat-nikmat dan dengan syahwat, demikian juga zina lisan adalah
berlezat-lezat dalam perkataan yang tidak halal untuk diucapkan, zina nafsu
(zina hati) adalah berkeinginan dan berangan-angan. Semua ini disebut zina
karena merupakan hal-hal yang mengantarkan pada zina dengan kemaluan” (Syarh
Shahih Al Bukhari, 9/23).
Diantara bentuk memandang dengan syahwat
adalah memandang untuk menikmati ketampanan lelaki, atau kegagahannya, atau
bahkan lebih dari itu semisal memandang disertai fantasi-fantasi yang
tidak dihalalkan agama.
Memandang lelaki dengan tanpa syahwat
Adapun jika wanita memandang lelaki
tanpa syahwat, para ulama berselisih pendapat dalam 4 pendapat:
1. Wanita
boleh memandang lelaki selain auratnya. Ini adalah pendapat ulama Hanafiyah,
Syafi’iyyah, dan Hanabilah.
2. Wanita
boleh memandang lelaki sebatas anggota tubuh yang dibolehkan bagi lelaki
untuk melihatnya pada para mahramnya. Maksudnya, lelaki boleh melihat sebagian
aurat mahramnya sebatas apa yang biasa terlihat semisal kepala, rambut, leher,
kaki, betis. Maka anggota tubuh inilah yang boleh dilihat oleh seorang wanita
terhadap lelaki yang bukan mahram. Ini adalah pendapat Malikiyah dan salah satu
riwayat dari Hanabilah.
3. Hukum
wanita memandang lelaki sama seperti lelaki memandang wanita. Artinya wanita
tidak boleh memandang lelaki kecuali pandangan yang tidak disengaja. Ini
adalah salah satu pendapat Syafi’iyyah dan salah satu
pendapat dari Imam Ahmad.
4. Wanita
boleh memandang kedua tangan dan kaki lelaki, makruh memandang wajah, dan haram
memandang selain dari itu semua. Ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dan beberapa ulama lain.
(lihat Mausu’ah
Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 40/355-358).
Yang rajih adalah pendapat pertama,
wanita dibolehkan memandang lelaki non-mahram selama bukan pada bagian tubuh
yang termasuk aurat. Diantara dalilnya adalah hadits yang dibawakan oleh Ibnu
Katsir di atas, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengizinkan Aisyah
radhiallahu’anha melihat orang-orang Habasyah bermain tombak di masjid.
Para ulama juga berdalil dengan hadits
Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma, suatu ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
berkhutbah di hari Id, selesai berkhutbah beliau mendatangi kaum wanita,
فوعظهُنَّ
وذكَّرَهُنَّ وأمرهُنَّ بالصدقةِ ، فرأيتُهُنَّ يُهْوِينَ بأيديهِنَّ ، يَقْذِفْنَهُ
في ثوبِ بلالٍ ، ثم انطلقَ هو وبلالٌ إلى بيتِهِ
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
menasehati dan mengingatkan para wanita dan menyuruh mereka untuk bersedekah.
Maka aku (Ibnu Abbas) melihat mereka menjulurkan tangamereka untuk melemparkan
sedekah mereka kepada baju Bilal. Kemudian Nabi pergi bersama Bilal ke rumahnya”
(HR. Bukhari – Muslim).
Dalam kisah ini para wanita melihat
Bilal dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak melarangnya. Dan para ulama
juga mengatakan bahwa secara logika jika wanita diharamkan melihat lelaki yang
bukan mahram tentu lelaki akan diperintahkan untuk berhijab sebagaimana wanita.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsamin
ditanya, “Apakah hukum wanita memandang laki-laki di televisi atau memandang
lelaki secara langsung ketika sedang berada di jalan?”. Beliau menjawab:
“Wanita memandang lelaki baik lewat televisi maupun secara langsung, tidak
lepas dari dua keadaan berikut
1. Memandang
dengan syahwat dan memandang dalam rangka bernikmat-nikmat (misalnya menikmati
kegantengan lelaki yang dilihat, pent.) ini hukumnya haram karena di dalamnya
terdapat kerusakan dan fitnah (bencana).
2. Sekedar
memandang, tanpa adanya syahwat dan bukan ingin bernikmat-nikmat, maka ini
tidak mengapa menurut pendapat yang lebih tepat dari para ulama. Hukumnya boleh
sebagaimana hadits yang terdapat di Shahihain:
أن عائشة رضي الله عنها كانت تنظر إلى
الحبشة وهم يلعبون ، وكان النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يسترها عنهم
“Aisyah Radhiallahu’anha pernah melihat
orang-orang Habasyah bermain di masjid dan Nabi Shalallahu’alahi Wasallam
membentangkan sutrah agar mereka tidak melihat ‘Aisyah “. Hadits ini
menunjukkan bolehnya hal tersebut.
Karena para wanita itu berjalan di
pasar-pasar dan melihat para lelaki walaupun mereka berhijab, sehingga mereka
bisa melihat para lelaki sedangkan para lelaki tidak bisa melihat mereka. Namun
syaratnya, tidak terdapat fitnah dan syahwat. Jika menimbulkan fitnah dan
syahwat maka haram, baik lewat televisi maupun secara langsung” (Majmu’
Fatawa Mar’ah Muslimah 2/973).
Syaikh Abdul Aziz bin Baz
menjelaskan, “Adapun pertanyaan mengenai wanita yang memandang lelaki
tanpa syahwat dan tanpa bernikmat-nikmat, sebatas apa yang di atas pusar dan di
bawah paha, ini tidak mengapa. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengizinkan
‘Aisyah melihat orang-orang Habasyah. Karena para wanita itu selalu pergi ke
pasar yang di dalamnya ada lelaki dan wanita. Mereka juga shalat di masjid
bersama para lelaki sehingga bisa melihat para lelaki. Semua ini hukumnya
boleh. Kecuali mengkhususkan diri dalam memandang sehingga terkadang
menimbulkan fitnah atau syahwat atau berlezat-lezat, yang demikian barulah
terlarang. Adapun pandangan yang sifatnya umum, tanpa syahwat dan tanpa
berlezat-lezat tidak khawatir terjadi fitnah, maka tidak mengapa. Sebagaimana
engkau tahu para wanita dibolehkan shalat di masjid dan mereka dibiarkan keluar
ke pasar-pasar memenuhi kebutuhan mereka”
Yang
lebih utama tetap menundukkan pandangan
Jika kita telah mengetahui bahwa seorang
wanita Muslimah boleh memandang lelaki yang bukan mahram jika tanpa syahwat dan
sebatas anggota tubuh yang bukan aurat, bukan berarti wanita Muslimah dapat
bermudah-mudah memandangi para lelaki. Karena pembahasan di atas adalah
mengenai boleh-tidaknya memandang lelaki yang bukan mahram. Adapun yang lebih
baik dan lebih utama, adalah tetap menundukkan pandangan. Karena hal tersebut
termasuk hal yang dianjurkan dalam ayat:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ
أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah kepada wanita yang
beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya”
(QS. An Nuur: 31).
Juga
mengamalkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
استَحْيُوا من اللهِ حقَّ الحياءِ
“malulah kepada Allah dengan
sebenar-benarnya malu!” (HR. At Tirmidzi 2458, ia berkata: “hasan”).
Selain itu, lebih dapat menjaga kesucian
hati dan lebih wara’. An Nusafi dalam Tafsir-nya menyatakan:
وغض بصرها من الأجانب أصلا أولى بها وإنما
قدم غض الابصار على حفظ الفروج لأن النظر بريد الزنا ورائد الفجور فبذر الهوى طموح
العين
“jika wanita menundukkan pandangannya
terhadap lelaki yang bukan mahram itu lebih utama. Karena didahulukannya
penyebutan ‘menjaga pandandan’ daripada ‘menjaga farji’ karena pendangan itu
surat menuju zina dan pemicu syahwat pada farji. Bibit hawa nafsu adalah mata
yang berambisi”.(ig)